Minggu, 31 Januari 2010

Keutamaan menghafal Qur’an

Berikut adalah Fadhail Hifzhul Qur’an (Keutamaan menghafal Qur’an) yang dijelaskan Allah dan Rasul-Nya, agar kita lebih terangsang dan bergairah dalam berinteraksi dengan Al Qur’an khususnya menghafal.

*Fadhail Dunia

1. Hifzhul Qur’an merupakan nikmat rabbani yang datang dari Allah

Bahkan Allah membolehkan seseorang memiliki rasa iri terhadap para ahlul Qur’an,
“Tidak boleh seseorang berkeinginan kecuali dalam dua perkara, menginginkan seseorang yang diajarkan oleh Allah kepadanya Al Qur’an kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang, sehingga tetangganya mendengar bacaannya, kemudian ia berkata, ‘Andaikan aku diberi sebagaimana si fulan diberi, sehingga aku dapat berbuat sebagaimana si fulan berbuat’” (HR. Bukhari)

Bahkan nikmat mampu menghafal Al Qur’an sama dengan nikmat kenabian, bedanya ia tidak mendapatkan wahyu,
“Barangsiapa yang membaca (hafal) Al Qur’an, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan kepadanya.” (HR. Hakim)

2. Al Qur’an menjanjikan kebaikan, berkah, dan kenikmatan bagi penghafalnya

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Seorang hafizh Al Qur’an adalah orang yang mendapatkan Tasyrif nabawi (penghargaan khusus dari Nabi SAW)

Di antara penghargaan yang pernah diberikan Nabi SAW kepada para sahabat penghafal Al Qur’an adalah perhatian yang khusus kepada para syuhada Uhud yang hafizh Al Qur’an. Rasul mendahulukan pemakamannya.

“Adalah nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud kemudian beliau bersabda, “Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafal Al Qur’an, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat.” (HR. Bukhari)

Pada kesempatan lain, Nabi SAW memberikan amanat pada para hafizh dengan mengangkatnya sebagai pemimpin delegasi.

Dari Abu Hurairah ia berkata, “Telah mengutus Rasulullah SAW sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda usianya, beliau bertanya, “Surat apa yang kau hafal? Ia menjawab,”Aku hafal surat ini.. surat ini.. dan surat Al Baqarah.” Benarkah kamu hafal surat Al Baqarah?” Tanya Nabi lagi. Shahabi menjawab, “Benar.” Nabi bersabda, “Berangkatlah kamu dan kamulah pemimpin delegasi.” (HR. At-Turmudzi dan An-Nasa’i)

Kepada hafizh Al Qur’an, Rasul SAW menetapkan berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Rasulullah SAW bersabda,
“Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya.” (HR. Muslim)

4. Hifzhul Qur’an merupakan ciri orang yang diberi ilmu

“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (QS Al-Ankabuut 29:49)

5. Hafizh Qur’an adalah keluarga Allah yang berada di atas bumi

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya.” (HR. Ahmad)

6. Menghormati seorang hafizh Al Qur’an berarti mengagungkan Allah

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah menghormati orang tua yang muslim, penghafal Al Qur’an yang tidak melampaui batas (di dalam mengamalkan dan memahaminya) dan tidak menjauhinya (enggan membaca dan mengamalkannya) dan Penguasa yang adil.” (HR. Abu Daud)

*Fadhail Akhirat

1. Al Qur’an akan menjadi penolong (syafa’at) bagi penghafal

Dari Abi Umamah ra. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah olehmu Al Qur’an, sesungguhnya ia akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi para pembacanya (penghafalnya).”" (HR. Muslim)

2. Hifzhul Qur’an akan meninggikan derajat manusia di surga

Dari Abdillah bin Amr bin ‘Ash dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Akan dikatakan kepada shahib Al Qur’an, “Bacalah dan naiklah serta tartilkan sebagaimana engkau dulu mentartilkan Al Qur’an di dunia, sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kau baca.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Para ulama menjelaskan arti shahib Al Qur’an adalah orang yang hafal semuanya atau sebagiannya, selalu membaca dan mentadabur serta mengamalkan isinya dan berakhlak sesuai dengan tuntunannya.

3. Para penghafal Al Qur’an bersama para malaikat yang mulia dan taat

“Dan perumpamaan orang yang membaca Al Qur’an sedangkan ia hafal ayat-ayatnya bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (Muttafaqun ?alaih)

4. Bagi para penghafal kehormatan berupa tajul karamah (mahkota kemuliaan)

Mereka akan dipanggil, “Di mana orang-orang yang tidak terlena oleh menggembala kambing dari membaca kitabku?” Maka berdirilah mereka dan dipakaikan kepada salah seorang mereka mahkota kemuliaan, diberikan kepadanya kesuksesan dengan tangan kanan dan kekekalan dengan tangan kirinya. (HR. At-Tabrani)

5. Kedua orang tua penghafal Al Qur’an mendapat kemuliaan

Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaiakan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab,”Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.” (HR. Al-Hakim)

6. Penghafal Al Qur’an adalah orang yang paling banyak mendapatkan pahala dari Al Qur’an

Untuk sampai tingkat hafal terus menerus tanpa ada yang lupa, seseorang memerlukan pengulangan yang banyak, baik ketika sedang atau selesai menghafal. Dan begitulah sepanjang hayatnya sampai bertemu dengan Allah. Sedangkan pahala yang dijanjikan Allah adalah dari setiap hurufnya.

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an maka baginya satu hasanah, dan hasanah itu akan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif itu satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (HR. At-Turmudzi)

7. Penghafal Al Qur’an adalah orang yang akan mendapatkan untung dalam perdagangannya dan tidak akan merugi

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Faathir 35:29-30)

Adapun fadilah-fadilah lain seperti penghafal Al Qur’an tidak akan pikun, akalnya selalu sehat, akan dapat memberi syafa’at kepada sepuluh orang dari keluarganya, serta orang yang paling kaya, do’anya selalu dikabulkan dan pembawa panji-panji Islam, semuanya tersebut dalam hadits yang dhaif.

“Ya Allah, jadikan kami, anak-anak kami, dan keluarga kami sebagai penghafal Al Qur’an, jadikan kami orang-orang yang mampu mengambil manfaat dari Al Qur’an dan kelezatan mendengar ucapan-Nya, tunduk kepada perintah-perintah dan larangan-larangan yang ada di dalamnya, dan jadikan kami orang-orang yang beruntung ketika selesai khatam Al Qur’an. Allahumma amin”

Metode Menghafal Al-Qur'an

Menghafal Al-Quran memang butuh ketekunan rupanya, dan sisi yang saya rasakan paling berat adalah menjaga apa yang sudah kita hafal dari Ayat-ayat Al-Quran bila dibandingkan sisi menghafalnya. Mungkin salah satu faktornya adalah umur kita yang sudah udzur (alasan klasik he..he.) Dan juga karena berbagai kemaksiatan yang mewarnai kehidupan kita yang sulit untuk di hilangkan. Mari kita berdoa semoga kita diberikan kemampuan untuk menghindarkan dan menepis godaan kemaksiatan, Amiin.

AL-Quran bagi umat Islam adalah cahaya dan petunjuk hidup artinya Al-qur’an bukan sekedar hanya kita tilawah saja melainkan harus kita pahami maknanya dan juga kita amalkan dalam kehidupan. Akan tetapi sebagai umat Islam sudahkah kita memberikan “perhatian” yang sudah pantas untuk AL-Qur’an? Sebagai Instropeksi bagi kita semua mari kita renungkan hal-hal berikut :

1. Berapa ayat atau surat yang kita baca tiap hari ?

2. Berapa waktu yang kita sisakan bagi Al-Qur’an untuk kita tadabburi?

3. Di usia kita sekarang ini sudah berapa surat Al-Quran yang kita hafal? apakah total sudah ada 5%,10%? Ingat ini adalah kitab suci kita?

4. Diantara surat yang kita hafal, apakah ada yang sudah kita pahami betul maknanya?

5. Berapa bagiankah dari Al-Qur’an yang sudah mampu kita amalkan dengan baik?


Sebagai seorang mukmin, kita tentunya berkeinginan untuk dapat menghafal Al-Quran dan setiap kita pasti memimpikan agar dapat melahirkan anak-anak yang hafal Al-Quran (hafidz/hafidzah). Berikut ini ada beberapa cara/kaidah dasar untuk memudahkan menghafal, di antaranya:

1. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah Azza wa Jalla.

Memperbaiki tujuan dan bersungguh-sungguh menghafal Al-Quran hanya karena Allah Subhanahu wa Ta`ala serta untuk mendapatkan syurga dan keridhaan-Nya. Tidak ada pahala bagi siapa saja yang membaca Al-Quran dan menghafalnya karena tujuan keduniaan, karena riya atau sumah (ingin didengar orang), dan perbuatan seperti ini jelas menjerumuskan pelakunya kepada dosa.

2. Dorongan dari diri sendiri, bukan karena terpaksa.

Ini adalah asas bagi setiap orang yang berusaha untuk menghafal Al-Quran. Sesungguhnya siapa yang mencari kelezatan dan kebahagiaan ketika membaca Al-Quran maka dia akan mendapatkannya.

3. Membenarkan ucapan dan bacaan.

Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendengarkan dari orang yang baik bacaan Al-Qurannya atau dari orang yang hafal Al-Quran. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sendiri mengambil/belajar Al-Quran dari Jibril alaihis salam secara lisan. Setahun sekali pada bulan Ramadhan secara rutin Jibril alaihis salam menemui beliau untuk murajaah hafalan beliau. Pada tahun Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam diwafatkan, Jibril menemui beliau sampai dua kali.
Para shahabat radliallahu `anhum juga belajar Al-Quran dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam secara lisan demikian pula generasi-generasi terbaik setelah mereka. Pada masa sekarang dapat dibantu dengan mendengarkan kaset-kaset murattal yang dibaca oleh qari yang baik dan bagus bacaannya. Wajib bagi penghafal Al-Quran untuk tidak menyandarkan kepada dirinya sendiri dalam hal bacaan Al-Quran dan tajwidnya.

4. Membuat target hafalan setiap hari.

Misalnya menargetkan sepuluh ayat setiap hari atau satu halaman, satu hizb, seperempat hizb atau bisa ditambah/dikurangi dari target tersebut sesuai dengan kemampuan. Yang jelas target yang telah ditetapkan sebisa mungkin untuk dipenuhi.

5. Membaguskan hafalan.

Tidak boleh beralih hafalan sebelum mendapat hafalan yang sempurna. Hal ini dimaksudkan untuk memantapkan hafalan di hati. Dan yang demikian dapat dibantu dengan mempraktekkannya dalam setiap kesibukan sepanjang siang dan malam.

6. Menghafal dengan satu mushaf.

Hal ini dikarenakan manusia dapat menghafal dengan melihat sebagaimana bisa menghafal dengan mendengar. Dengan membaca/melihat akan terbekas dalam hati bentuk-bentuk ayat dan tempat-tempatnya dalam mushaf. Bila orang yang menghafal Al-Quran itu merubah/mengganti mushaf yang biasa ia menghafal dengannya maka hafalannya pun akan berbeda-beda pula dan ini akan mempersulit dirinya.

7. Memahami adalah salah satu jalan untuk menghafal.

Di antara hal-hal yang paling besar/dominan yang dapat membantu untuk menghafal Al-Quran adalah dengan memahami ayat-ayat yang dihafalkan dan juga mengenal segi-segi keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya.Oleh sebab itu seharusnyalah bagi penghafal Al-Quran untuk membaca tafsir dari ayat-ayat yang dihafalnya, untuk mendapatkan keterangan tentang kata-kata yang asing atau untuk mengetahui sebab turunnya ayat atau memahami makna yang sulit atau untuk mengenal hukum yang khusus.
Ada beberapa kitab tafsir yang ringkas yang dapat ditelaah oleh pemula seperti kitab Zubdatut Tafsir oleh Asy-Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
Setelah memiliki kemampuan yang cukup, untuk meluaskan pemahaman dapat menelaah kitab-kitab tafsir yang berisi penjelasan yang panjang seperti Tafsir Ibnu Katsier, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir As-Sadi dan Adhwaaul Bayaan oleh Asy-Syanqithi.wajib pula menghadirkan hatinya pada saat membaca Al-Quran.

8. Tidak pindah ke surat lain sebelum hafal benar surat yang sedang dihafalkan.

Setelah sempurna satu surat dihafalkan, tidak sepantasnya berpindah ke surat lain kecuali setelah benar-benar sempurna hafalannya dan telah kokoh dalam dada.

9. Selalu memperdengarkan hafalan (disimak oleh orang lain).

Orang yang menghafal Al-Quran tidak sepantasnya menyandarkan hafalannya kepada dirinya sendiri. Tetapi wajib atasnya untuk memperdengarkan kepada seorang hafidz atau mencocokkannya dengan mushaf. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan kesalahan dalam ucapan, atau syakal ataupun lupa.
Banyak sekali orang yang menghafal dengan hanya bersandar pada dirinya sendiri, sehingga terkadang ada yang salah/keliru dalam hafalannya tetapi tidak ada yang memperingatkan kesalahan tersebut.

10. Selalu menjaga hafalan dengan murajaah.

Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :

“Jagalah benar-benar Al-Quran ini, demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, Al-Quran lebih cepat terlepas daripada onta yang terikat dari ikatannya.”

Maka seorang yang menghafal Al-Quran bila membiarkan hafalannya sebentar saja niscaya ia akan terlupakan. Oleh karena itu hendak hafalan Al-Quran terus diulang setiap harinya. Bila ternyata hafalan yang ada hilang dalam dada tidak sepantasnya mengatakan: “Aku lupa ayat (surat) ini atau ayat (surat) itu.” Akan tetapi hendaklah mengatakan: “Aku dilupakan,” karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda: (..arab..)

11. Bersungguh-sungguh dan memperhatikan ayat yang serupa.

Khususnya yang serupa/hampir serupa dalam lafadz, maka wajib untuk memperhatikannya agar dapat hafal dengan baik dan tidak tercampur dengan surat lain.

12. Mencatat ayat-ayat yang dibaca/dihafal.

Ada baiknya penghafal Al-Quran menulis ayat-ayat yang sedang dibaca/dihafalkannya, sehingga hafalannya tidak hanya di dada dan di lisan tetapi ia juga dapat menuliskannya dalam bentuk tulisan.
Berapa banyak penghafal Al-Quran yang dijumpai, mereka terkadang hafal satu atau beberapa surat dari Al-Quran tetapi giliran diminta untuk menuliskan hafalan tersebut mereka tidak bisa atau banyak kesalahan dalam penulisannya.

13. Memperhatikan usia yang baik untuk menghafal.

Usia yang baik untuk menghafal kira-kira dari umur 5 tahun sampai 25 tahun. Wallahu alam dalam batasan usia tersebut. Namun yang jelas menghafal di usia muda adalah lebih mudah dan lebih baik daripada menghafal di usia tua.
Pepatah mengatakan:

Menghafal di waktu kecil seperti mengukir di atas batu, menghafal di waktu tua seperti mengukir di atas air.



HAL-HAL YANG DAPAT MENGHALANGI HAFALAN

Setelah kita mengetahui beberapa kaidah dasar untuk menghafal Al-Quran maka sudah sepantasnya bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang menghalangi dan menyulitkan hafalan agar kita dapat waspada dari penghalang-penghalang tersebut.

Di antaranya:

1. Banyaknya dosa dan maksiat.

Sesungguhnya dosa dan maksiat akan melupakan hamba terhadap Al-Quran dan terhadap dirinya sendiri. Hatinya akan buta dari dzikrullah.

2. Tidak adanya upaya untuk menjaga hafalan dan mengulangnya secara terus-menerus.

Tidak memperdengarkan (meminta orang lain untuk menyimak) dari apa-apa yang dihafal dari Al-Quran kepada orang lain. 3. Perhatian yang berlebihan terhadap urusan dunia yang menjadikan hatinya tergantung dengannya dan selanjutnya tidak mampu untuk menghafal dengan mudah.

4. Berambisi menghafal ayat-ayat yang banyak dalam waktu yang singkat dan pindah hafalan lain sebelum kokohnya hafalan yang lama.

Kita mohon pada Allah Subhanahu wa Ta`ala semoga Dia mengkaruniakan dan memudahkan kita untuk menghafal kitab-Nya, mengamalkannya serta dapat membacanya di tengah malam dan di tepi siang. Wallahu alam bishawwab.

(Ummu Abdillah & Ummu Maryam, dinukil dari kitab: “Kaifa Tataatstsar bil Quran wa Kaifa Tahfadzuhu?” oleh Abi Abdirrahman)

Dosa kah bila hafal Qur'an trus lupa?

Asas hukum di dalam isu ini adalah hadith-hadith berikut :-

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " ما من امرئ يقرأ القرآن ثم ينساه إلا لقي الله عز وجل أجذم "

Ertinya : "Tiada siapa pun yang membaca Al-Quran kemudian melupakannya kecuali ia akan bertemu Allah SWT di hari kiamat dalam keadaan kerdil" ( Riwayat Abu Daud ; Al-Munziri mengatakan ada perawinya Yazid Bin Abi Ziyad, hadithnya tidak dijadikan hujjah; Dhoif menurut Albani ; no 1474, hm 176)

Abu Ubayd menyebut : "Ajzam" di dalam hadith di atas bermaksud terpotong tangan, manakala Ibn Qutaybah pula menyebut ianya bermakna kerdil. ( Ma'alim as-Sunan, AL-Khattabi, 1/253 ; Awnul Ma'bud, Ibn Qoyyim)

Terdapat ulama yang menjadikan hadith di atas sebagai hujjah dalam isu melupakan hafazan al-Quran. Disebut huraian "yaqra" di atas merangkumi maksud membaca dengan melihat, membaca secara hafaz dan membaca makna Al-Quran kemudian meninggalkan pembacaannya secara lupa atau sengaja. Bagaimanapun hadith di atas telah dihukum sebagai dhoif.

Antara hadith lain adalah :-

"عرضت عليّ ذنوب أمتي فلم أر ذنباً أعظم من سورة من القرآن - أو أية - أوتيها رجل ثمّ نسيها"

Ertinya : " Dibentangkan kepadaku dosa-dosa umatku dan tidak aku nampak dosa yang lebih besar dari satu surah dari Al-Quran atau satu ayat ,yang diberikan kepada seorang lelaki kemudian ia melupakannya" ( Riwayat At-Tirmidzi, bab Fadhail Quran dari Rasulullah SAW, no 2840 ; At-Tirmidzi : Gharib; Al-Munziri : Dhoif kerana perawi bernama Abd Majid Bin Abd Aziz ; rujuk Tuhfatul Ahwazi)

Para ulama salaf berbeza pandangan dalam bab melupakan ayat Al-Quran, sebahagian mereka menjadikannya sebagai dosa besar, antaranya Ulama Syafie seperti Syeikh Ar-Ruyani, Al-Qurtubi dan lain-lainnya yang mengatakan melalaikan pembacaanya adalah penyebab kepada lupa ayatnya, lupa ini menunjukkan tidak memberi perhatian sewajarnya terhadap Al-Quran. Malah di sebut dalam sebuah riwayat Mawquf :

" ما من أحد تعلم القرآن ثم نسيه إلا بذنب أحدثه , لأن الله يقول (( وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم)) "

Ertinya : Tiada seorang pun yang mempelajari Quran kemudian melupakannya kecuali ditimpa dosa, kerana Allah berfirman : " Tiadalah musibah yang menimpa kamu kecuali dengan sebab tangan-tangan kamu sendiri" " mereka menambah : tiada musibah yang lebih besar dari melupakan al-Quran.

Sebuah lagi sambungan hadith di atas tetapi bertaraf mursal menurtu Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani; Ertinya : "..tidak aku nampak dosa yang lebih besar dari dosa penghafaz al-Quran kemudian meninggalkannya" (Dikeluarkan oleh Ibn Abi Daud ; Rujuk Fath Al-Bari)

Imam Al-Qurtubi pula berpendapat bahawa sesiapa yang menghafaz Al-Quran maka telah tinggi darjatnya sekadar mana yang ia hafaz, apabila rosak kedudukan ini kerana lupa maka ia akan membawa kepada jahil, maka jahil selepas berilmu adalah amat buruk. ( Rujuk Fath al-Bari, bab : Kelebihan Al-Quran, no 4650)

Bagaimanapun, sebahagian ulama salaf pula pula menhuraikan maksud lupa di sini adalah melupakannya dengan meninggalkan beramal degan ayat itu. Ini kerana amaran jikakalau lupa ini hanya tertakluk kepada lupakan hafazan al-Quran maka akan berkatalah seseorang , bahawa LEBIH BAIK TIDAK PERLU MENGAHAFAZ TERUS. Maka ia bertentangan dengan objektif Shariah.

Kesimpulannya : Apapun tafsiran dan kekuatan dan kelemahan rawi hadith, sememangnya menjadi kewajiban bagi menjaga hafazan Al-Quran demi mengekalkan ketinggian maqam di sisi Allah, juga amat wajib bagi yang telah mempelajari ilmu-ilmu dari Al-Quran dan memahaminya kemudian melupakannya. Justeru, amat perlu bagi kita umat Islam mengingati hafazan dan ilmu dari al-Quran untuk di baca dan di amal. Wallahu ‘alam.

cara terbaik mewujudkan impian

"Cara terbaik untuk mewujudkan impian kita adalah segera bangun,
dan bekerja keras.

Mudah-mudahan Anda
termasuk pribadi yang SIBUK.

Karena,

Dia yang lemah dan paling kecil - tetapi sibuk, akan lebih berhasil daripada dia yang kuat dan cerdas tetapi lamban dan malas.

Memilki impian yang besar atau tidak,
tugas kita adalah
memulai, melanjutkan, bertahan, dan meneruskan.

Tugas kita bukanlah untuk berhasil.
Tugas kita adalah untuk mencoba."

Mario Teguh

Sabtu, 30 Januari 2010

akhir bahagia...chapter 1

kabut dingin merendah, pandangan hijau terhampar…lama aku tak menikmati damainya pagi seperti ini, di sini…menatap indah kokohnya deretan pegunungan, mendengar ramai merdunya kicau burung…

hingga akhirnya mulai hangat, hangat terasa masuk ke dalam relung tubuh dan jiwaku, burung kecil berwarna biru yang begitu indah menakjubkan ku...terbang begitu cepat melintas di depanku sebelum aku bisa mengenali spesiesnya.

Haaaahh…(aku menghela nafas), mentari beranjak naik meninggalkan peraduannya, makin hangat menyentuh kulit ari, kulihat empat ekor anak ayam yang mulai lahap memakan sarapannya dengan begitu nikmat, sambil sesekali melihat ke arahku…mungkin mereka iba…(kembali menghela nafas…)

Itu adalah pagi tiga hari yang lalu, pagi setelah malam harinya aku hanya sedikit saja merasakan kantuk, entah kenapa…

Ohh, aku ingin sekali menuliskan semua ini sebaik para penulis yang begitu indah mengalir kata-kata bijak darinya…untukmu…

Hmmm…hangat, karena kemurahanNya…

Kita tidak pernah meminta kepadaNya agar diberikan matahari yang bersuhu dua belas ribu derajat Fahrenheit, dengan jarak antara bumi yang kita tempati ini dengan matahari kira-kira (bahkan tidak ada yang bisa mengukurnya secara tepat) 92,5 juta mil. Sedangkan jarak bumi dengan bulan kira-kira 240 ribu mil. Jarak yang ada ini ternyata adalah jarak yang sesuai untuk terciptanya suatu kehidupan yang cocok bagi makhluk hidup di bumi ini. Sebab jika bumi kita jaraknya lebih dekat dari yang sekarang, maka segala kehidupan yang ada di atasnya akan langsung terbakar dan hangus dalam sekejap. Sedangkan jika jarak matahari dengan bumi lebih jauh, maka segala isi bumi akan menjadi beku. Akibatnya segala yang ada di atas bumi akan mati. Namun apabila jarak antara bumi dengan bulan lebih dekat atau lebih jauh dari yang sekarang, maka air laut akan menjadi pasang dan ini akan mengakibatkan seluruh permukaan bumi akan tergenang oleh air. Pulau-pulau yang berisi kehidupan akan hancur. Daya gravitasinya akan memecahkan pegunungan dan perbukitan, dan akhirnya seluruh kehidupan yang ada akan lenyap. Sungguh kita tidak pernah meminta semua itu bukan…?

Banyak sekali nikmat, yang tidak pernah kita minta saja Alloh beri…

Apalagi kalau kita mau meminta…dan aku yakin, permintaan kami tidaklah sulit bagiMu ya Robb... walaupun kami memang masih malas, kurang ketaatan kepadaMu, tapi kami berjanji akan lebih baik…mudahkanlah kami menerima apapun yang terbaik dariMu ya Robb…

Perlahan, sedikit meredup…tertutup awan, padahal aku masih membutuhkan hangatnya....

Akhirnya aku putuskan untuk beranjak pulang, berhenti …

Seperti malam harinya kami memutuskan untuk berhenti, walaupun ternyata beberapa hari kemudian, terbukti sulit sekali…berat sekali rasanya menghentikan semua itu…

Ampuni kami ya Robb…Engkaulah Sang pembolak balik hati…beri kami kekuatan…aku ingin yang terbaik baginya…

Sesampainya di rumah, kucoba menjalani aktivitas seperti biasa. Tapi ternyata hanya tubuh ini yang melakukannya, fikiranku entah kemana…

Aku berangkat seperti biasa, dan berharap semuanya akan biasa saja. Ternyata aku salah, 11.30, 1 km lagi seharusnya aku sudah sampai. Tapi…entah mengapa mobil itu begitu mengagetkanku, aku rem mendadak dengan rem depan…hingga akhirnya, aku kembali membuktikan bahwa jalan aspal dimanapun tidak ada yang empuk…

Mungkin hampir 5 meter aku terhempas, mengakrabkan lembutnya aspal siang itu dengan kulit ariku…terhampar sejajar dengan shogun setiaku…kasihan dia, pasti lukanya tambah dalam ditambah dengan luka-luka baru mungkin…

Kenapa mesti terjadi di saat seperti ini??? Tanyaku dalam hati, tapi aku bergegas berdiri, mendekati shogunku, kulihat keadaanya…dan tak sampai 3 menit kemudian aku pergi, tak mau jadi tontonan…sembari mengatakan kepada orang-orang “aku tidak apa-apa”…

Ya, memang tidak apa-apa, ‘hanya’ lecet disana-sini…’hanya’ yang membuatku memilih diam di rumah karena badanku merasakan ‘hanya’ yang sebenarnya setelah aku melewati malam setelah aku berkata aku tidak apa-apa…walaupun ada keajaiban yang terjadi nantinya…;)

Beberapa saat kemudian aku sampai, berusaha menyembunyikan kejadian beberapa menit lalu sambil menikmati perih yang mulai terasa di kulitku…ternyata lumayan banyak juga bagian yang merasakannya…(kalau mau dihitung sepertinya, banyak sekali ‘ternyata’ yang aku tuliskan…)

Sudah hampir masuk waktu dhuhur, ke masjid…sebaiknya kunikmati semua ini di sana. Melihat lebih jelas, bagian mana saja yang harus mendapat perawatan sesampainya di rumah nanti, (tanpa perlu orang rumah tau), suatu kebiasaan yang tidak baik sebenarnya…tapi aku hanya tidak ingin membuat mereka khawatir, walaupun tak lama aku bisa menyembunyikannya, karena aku memutuskan untuk diam di rumah di hari berikutnya…tentu saja itu menimbulkan pertanyaan…

hingga akhirnya aku tau kenapa aku tetap di rumah, ada yang membutuhkanku…;)

kunikmati, kuamati…ah, bisa kutahan…’hanya’ seperti ini…luka kecil saja…

aku akhiri dulu di sini…karena sekali lagi sudah kau tanyakan…

aku tak ingin kau menunggu terlalu lama lagi…bahkan sesungguhnya, semampuku...aku tak pernah ingin membuatmu menunggu….

Jumat, 29 Januari 2010

Cara Perayaan Maulid Bid'ahkah...?

Kita mengistimewakan hari lahirnya Rasulullah saw, sebagaimana beliau saw mengistimewakan hari diselamatkannya Nabi Musa as dari kejaran Fir’aun. Nabi berpuasa pada hari Senin sebagaimana Nabi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, hari di mana Nabi Musa diselamatkan.
Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abu Qatadah, seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin?” Maka beliau saw menjawab: “Fiihi wulidtu wafiihi unzila alayya.”
“Di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula aku diturunkan wahyu Al Qur’an.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Ahmad). (Dalam Shahih Muslim 8/52).

Mungkin anda bertanya, mengapa dalam perayaan maulid kita tidak berpuasa seperti yang dicontohkan oleh Rasul saw saja, tetapi malah makan-malam dan bergembira dengan membaca syair-syair pujian yang disertai alunan rebana dan lain-lain?
Jawabannya adalah, puasa merupakan salah satu cara terbaik untuk mengenang kelahiran Rasulullah saw. Dan puasa sendiri adalah ibadah murni yang akan mendapat pahala jika kita mengamalkannya secara ikhlas dan benar.
Tetapi yang menjadi tujuan dari puasa Rasulullah pada hari itu adalah untuk mengenang dan mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepada beliau saw.
Karena itu, tidak ada alasan untuk melarang manusia melakukan bentuk-bentuk peringatan kelahiran Nabi saw dengan cara lain, selama hal itu dibolehkan dalam agama dan tidak berbentuk maksiat.

Sedangkan yang terpenting dalam hal ini adalah niat dan tujuan dari perayaan itu, bukan medianya semata. Karena itu, kalau kita perhatikan maka akan kita temukan berbagai macam cara umat Islam dalam memperingati hari kelahiran Nabi saw sesuai dengan kondisi dan tradisi masing-masing.

Di antara mereka ada yang dengan cara menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, berpuasa, melantukan syair-syair pujian kepada Nabi saw, dan bersedekah makanan kepada tetangga dan kerabatnya.
Di antara sekian cara ini, yang paling terkenal di Indonesia adalah mengadakan pembacaan kitab maulid dan pengajian dengan serangkaian acaranya. Inilah yang dilakukan sebagian umat Islam di seluruh pelosok dunia dari dahulu hingga sekarang.
Hal lain yang sering dipermasalahkan dan diungkit-ungkit adalah tentang iringan rebana dan syair kasidah sebagai pelengkap acara maulid.

Seperti biasa, mereka mengatakan, itu adalah hal bid’ah yang wajib dihilangkan karena mengotori syariat Islam. Sebelum kita bahas lebih lanjut, marilah kita tengok sejarah para sahabat di masa Rasulullah saw masih hidup.
Kala itu, berita hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah telah tersebar luas. Para sahabat yang berada di Madinah tak kuasa menahan rasa rindu kepada Rasulullah saw. Setiap hari mereka menanti Nabi saw di tapal batas kota Madinah, akhirnya, saat yang dinanti-nanti pun tiba.
Rasulullah saw bersama Abu Bakar ra memasuki kota madinah dengan selamat. Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, mereka menangis bahagia menyaksikan kekasih yang dirindukan telah berada di hadapan mata.
Dengan penuh cinta, wanita dan anak-anak pun menaati rebana dan melantunkan syair indah penuh makna yang abadi sepanjang masa. Dengan meriah mereka bersyair, “Thala’al badru ‘alainaa.. min tsaniy yatil wadaa’.. Wa jabasy syukru ‘alainaa.. Maa da’aal lillahidaa’..”
(Telah terbit bulan purnama.. Menyinari kami dari Bukit Wada’.. Maka kita wajib bersyukur.. Karena tibanya sang da’i yang menyeru ke jalan Allah..).

Sepanjang hidupnya, Rasulullah saw tidak pernah melarang tabuhan rebana dan senandung syair yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangannya itu.
Bahkan ketika Rasulullah saw tiba dari perang Tabuk, warga Madinah kembali menyambutnya dengan tabuhan rebana dan lantunan syair tersebut di atas. (Lihat Siratul Halabiyyah juz 3: 99, Zadul Ma’ad juz 1: 1297, Fathul Bari juz 8: 469).
Dalam hadist lain juga diriwayatkan, bahwa ketika Nabi saw tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam datang menemui beliau saw sambil membawa rebana dan berkata:
“Wahai Rasulullah, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh rebana dan menyanyi di hadapanmu”. Rasulullah saw menjawab: “Jika kamu telah bernazar maka tunaikanlah nazarmu itu, tapi jika tidak maka jangan.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).

Wanita itupun menunaikan nazarnya, ia menyanyi dan menabuh rebana di hadapan Nabi saw cukup lama. Satu demi satu sahabat Abu Bakar, Utsman, dan Ali ra datang menemui Nabi saw, budak wanita itu tetap menabuh dan menyanyi dan Nabi mendengarkan.
Ketika Umar ra tiba, wanita itu berhenti dan segera menyembunyikan rebananya dan mendudukinya, sebab ia takut kepada Umar ra yang terkenal keras dan tegas. Setelah keempat sahabat itu berkumpul di hadapan Nabi saw, beliau bersabda:
“Sesungguhnya setan pasti takut kepadamu hai Umar, ketika aku duduk, wanita itu menabuh rebana. Kemudian Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana, ketika Ali masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ustman masuk ia tetap menabuh rebana.
Akan tetapi, ketika kamu masuk hai Umar, wanita itu segera membuang rebananya.” (HR. Tirmidzi).

Membaca kedua hadist di atas dapat kita ambil kesimpulan. Pertama, rebana dan lantunan syair pujian sudah ada pada zaman Rasulullah saw. Kedua, Rasulullah saw tidak pernah melarang menabuh dan menyanyi (selama tidak menimbulkan syahwat dan fitnah) di masa hidupnya.
Jadi, walau mungkin Rasulullah saw tidak pernah melakukan kedua hal itu selama hidupnya, tetapi karena ketika beliau mengetahui kedua hal itu tidak pernah melarangnya,
maka hukumnya menjadi Sunnah Taqririyah (Sunnah karena Rasulullah melihat atau mendengar sesuatu yang dikerjakan para sahabat, tetapi beliau tidak melarangnya).

Dengan demikian, maka jelaslah permasalahan seputar rebana dan syair pujian kepada Nabi Muhammad saw yang sering kita mendengar bahkan melakukannya adalah boleh.

fahami dan renungkan jangan menelan faham ustadz-ustadz jahil …

http://albayan.hadithuna.com/2008/07/21/42/

Rahasia Dua Lelaki

dari balik tabir, kudengarkan wanita itu bicara

mengisahkan pengalaman yang akan menjadi guru

***

“aku bertemu dua lelaki”, dia memulai cerita

dengan suara lembut, riang, sekaligus sendu

aku menerka demikian pula wajahnya

“kurasa dua-duanya mampu membuatku tak bisa menolak

jika mereka punya kehendak”

“oh ya?”, kudengarkan sambil dalam hati mengucap “Rabbi..”

***

“lelaki pertama berparas titisan yusuf,

hartanya warisan sulaiman, gagahnya serupa musa”

wanita itu berhenti, sejenak menghela nafasnya

aku menggigit bibir dan mendalamkan tundukku

***

“dan tahukah kau”, suaranya cekat kini,

“setelah bicara padanya, aku pulang terpesona

merasa telah berjumpa dengan lelaki paling rupawan

bercakap dengan insan paling bijaksana”

***

aku tak ingin tahu lebih banyak,

jadi kutanyakan padanya tentang lelaki kedua

dan sepertinya dia tersenyum

***

“seusai berbincang dengan lelaki kedua”, katanya

“aku pulang dengan bahagia, merasa penuh pesona

merasa menjadi wanita paling jelita

merasa diriku perempuan paling cendikia”

***

“jadi di antara mereka”, tanyaku sambil mengepalkan jemari

“siapa yang lebih tampan, siapa yang lebih mengagumkan?”

kurasa dia tersenyum lagi, menertawakanku barangkali

“laki- laki pertama lebih mencintai dirinya sendiri

dia bersukacita saat menebarkan pesona

dia bahagia ketika banyak hati memujanya”

***

“laki-laki kedua mempesona bukan karena dirinya

daya pikatnya ada pada perhatiannya, yang membuatku

merasa ada, merasa bermakna, merasa berharga”

***

“jadi”, aku menyimpulkan perlahan, “kaumemilih yang kedua?”

dia tersenyum lagi, “aku telah mendapatkan yang ketiga”

“laki-laki suci; yang memuliakanku dengan menikahiku

dia menjaga kesuciannya dengan pernikahan

dia menjaga pernikahannya dengan kesucian

dia berupaya untuk mempunya pesona lelaki pertama, tanpa mengumbarnya

dia belajar memiliki pesona lelaki kedua, untuk mengagungkan isterinya

meski jauh dari sempurna dia mengingatkanku pada sabda Sang Nabi;

sebaik-baik lelaki adalah yang paling memuliakan perempuan”

***

aku tersenyum kini, “tunggu, apakah engkau ini isteriku?”

***

salim a. fillah-www.fillah.co.cc


artikel yang kau suka.... ;)

tapi aku belum faham maksudnya...

Mencintai Sejantan ‘Ali

kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
-M. Anis Matta-

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.

Di jalan cinta para pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita..


salim-a-fillah.blog.friendster.com

Rabu, 27 Januari 2010

satu saat, kuminta nasehat pada seorang sahabat
aku merasa tak layak akh, katanya

aku tersenyum dan berkata
jika tiap kesalahan kita dipertimbangkan
sungguh di dunia ini tak ada lagi
orang yang layak memberi nasehat

memang merupakan kesalahan
jika kita terus saja saling menasehati
tapi dalam diri tak ada hasrat untuk berbenah
dan menjadi lebih baik lagi di tiap bilangan hari

tapi adalah kesalahan juga
jika dalam ukhuwah tak ada saling menasehati
hanya karena kita berselimut baik sangka kepada saudara

dan adalah kesalahan terbesar
jika kita enggan saling menasehati
hanya agar kita sendiri tetap
merasa nyaman berkawan kesalahan

Subhanallaah, di jalan cinta para pejuang
nasehat adalah ketulusan
kawan sejati bagi nurani
menjaga cinta dalam ridhaNya

-Salim A. Fillah-

bidadari-bidadari surga...

dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli. (al waqi'ah : 22)
pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. mereka baik lagi cantik jelita. (ar rahman : 70)

andai kata ada seorang wanita penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang antara bumi dan langit. dan niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. dan sesungguhnya kerudung di atas kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya. (hadits al bukhori).

aku akan terus berusaha memantaskan diri agar Alloh mempercayakan dirimu padaku...
jikapun tidak di alam fana ini, semoga akan ada kesempatan di alam yang kekal nanti...
bidadariku...eich liebe dich...just the way you are...