Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Mei 2010

Loading Cinta


oleh : Kiai Budi

Sedulurku tercinta,dalam kepasrahan do'a,yang kita yakini bahwa Tuhan Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan dan Maha Indah lainnya,cukup kiranya menjadikan kita tinggal menunggu jawabanNya. Hasrat cita dan harapan manakala telah kita setorkan datanya ke Tuhan, bagai menanam benih dalam tanah tinggal menunggu musim semi, percayalah. Menanamnya itu yang menjadi syarat sunnahnya, soal hasil itu mau langsung, atau ditunda waktunya, atau tersimpan kokoh disisiNya, karena kepasrahan kita, terserah yang andum (membagi), yakni Dia itu yang kita yakini Maha-Maha. Kuatkan hati, dan lihatlah di layar hatimu kawan, ada info jelas kan?--loading--. Sebuah episode hidupku, aku yakin anda punya suasana yang sama, problem saja yang berbeda, saat petugas PLN membongkar listrik pondok karena alasan perintah, setelah gagal aku mengemis waktu mengulur seminggu untuk bisa membayarnya. Memang ini kesalahanku, telat tiga bulan, namun seperti biasanya, walau kadang telat petugas ada yang ridlo memaklumi, kanthong sakuku, yang bukan pengusaha, bukan pegawai, bukan siapa-siapa--tetapi kali ini tidak. Listrik dibongkar. Bisa anda bayangkan, semuanya macet. Seluruh penghuni komplek aku kumpulkan pada malam hari, ditengah cahaya lilin, di aula yang saat itu Cak Nun menyebut komplek ini sebagai rumah cinta. Aku memberi arahan, jangan sampai ada yang mengeluh, kita menimba sumur tua itu untuk mandi dan wudlu, carilah kaleng atau botol kratingdaeng untuk bikin lampu oncor, nikmati ini dan kegelapan ini sampai Dia bekerja, tunggulah. Aku baru tahu beberapa hari ini, di komputer, istilah menanti jawaban atas setoran data-data--namanya loading--. Ada yang bisa beli genset, tapi kemampuannya tak mencukupi lokasi komplek, sangat terang. Ada yang beli lilin2, lampu teplok, dan ada yang tidak mau pakai apa-apa. Ketika larut, aku pandang dari kejauhan sedikit, ada orkresta warna di pesantren ini, diterangi temaram cahaya rembulan, yang tentu sampai padhang mbulan, purnama. Usai ngaji, ada yang tetabuhan, jithungan, shalawatan, aku rasakan ada orkrasta musik saja kayaknya. Aku tersenyum, siapa bilang derita itu derita--gumamku. Bisa saja bagimu pahit, bagiku manis, bagimu derita bagiku kegembiraan, bagimu racun yang mematikan bagiku ternyata terasa madu yang mengobati. Suasana itu berjalan tiga bulan tidak terasa, kalau ada yang silaturrahim menonjok pertanyaan soal kegelapan, aku bilang--mpun rejekine (sudah rezekinya), biasa kan aku sambil tersenyum. Pada saat aku bersama Cak Nun da M.Nuh (sebelum jadi mentri) di Bang-Bang Wetan, istriku menelpon kalau malam ini ada pimpinan pusat PLN Jakarta, menengok bongkaran dan menikmati kegelapan kita. Kata istriku, mereka semua menangisi sikapnya dan mohon ampun atas pembongkarannya. Saat pejabat itu menelpon, aku bilang--tidak apa-apa, kami masih dikasih tenaga Allah untuk mencari duit, sampai kami bisa masang lagi, kapan-kapan, ampun pemerintah. Begitu aku sampai rumah, pembongkar itu bersimpuh menunggu, sebelum mereka bicara, aku tahu kehadiran tanpa aku rindukan dan bukan atas kerinduannya---pasanglah lagi sebagaimana engkau semua membongkarnya, kataku pelan tanpa dendam. Malah ketua pembongkar itu pada pamitnya meminta aku menikahkan keluarganya, aku sanggupi juga, biar dia pulang tanpa tangan hampa....Kawan,dia pulang pamit tersenyum bibirnya, menetes airmatanya,,, Maafkan aku Mas-Mas,selamat bekerja semoga baik-baik adanya,,,,,

Amaliyah Gus Dur

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri


Memperingati 100 hari wafat Gus Dur. Duduk di depan makam Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dan tokoh-tokoh Tebuireng, Kiai sepuh kharismatik, KH. Maemoen Zubair yang malam itu hadir bersama nyai dalam acara 40 hari wafat Gus Dur di Tebuireng, sempat bertanya –seolah-olah kepada diri—mengenai fenomena presiden keempat itu.

Pertanyaan yang juga mengusik pikiran saya dan mungkin banyak orang yang lain. Amaliah Gus Dur apa kira-kira yang membuat cucu Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Sansuri itu dihargai dan dihormati orang sedemikian rupa setelah kemangkatannya. Penghormatan yang belum pernah terjadi pada orang lain, termasuk presiden maupun kiai.




Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi menulis tentang diri Gus Dur. Di saat pemakaman, keluarga ; masyarakat; dan pemerintah; seperti ‘berebut’ merasa paling berhak menghormatinya. Dan ternyata pemakaman Kiai Bangsa ini bukanlah penghormatan terakhir. Rombongan demi rombongan dari berbagai pelosok tanah air, setiap hari berdatangan di makamnya. Bahkan banyak peziarah yang memerlukan datang dari luar negeri. Mereka semua datang dengan tulus menangisi dan mendoakannya. Sebagian malah ada yang memohon maaf kepada Gus Dur atas kesalahannya; termasuk seorang ibu yang menangis memohon maaf karena tahun 2004 tidak memilih PKB.

Di samping acara-acara doa bersama untuk Gus Dur, berbagai acara untuk mengenang dan menghormati almarhum diselenggarakan dimana-mana. Ada yang bersifat ritual keagamaan; ada yang dikemas dalam bentuk pengajian umum, saresehan, kesenian, dlsb. Acara-acara itu tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan Pesantren, Nahdliyin, kaum muslimin; tapi juga oleh kalangan agama-agama dan etnis lain. Dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya, di mana-mana pun orang menyelenggarakan acara khusus. Tidak hanya di Tebuireng dan Ciganjur Saya sendiri dapat sembilan undangan dalam rangka yang sama.

Saya mendatangi undangan Gus Sholahuddin Wahid dan keluarga Bani Wahid di Tebuireng. Menyaksikan ribuan warga masyarakat yang mulai pagi hari sudah berdatangan menuju komplek Pesantren dimana terletak makam Gus Dur. Rahmat Allah berupa hujan, mengguyur Tebuireng dan sekitarnya. Saya menyaksikan sekian banyak orang ber-basah-basah berjalan dari tempat-tempat kendaraan mereka di parkir –yang jaraknya berkisar antara 3 sampai 5 km—menuju ke makam. Saya menyaksikan di samping tempat-tempat parkiran, tukang-tukang ojek dadakan, juga warung-warung baru. Semuanya itu tentu untuk melayani para peziarah.

Dan malam itu, ribuan umat duduk khidmat di sekitar makam untuk berdzikir dan berdoa. Renyai hujan seolah-olah ikut mengamini doa mereka. Saya mendengar kabar, hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Ciganjur.

Kembali ke pertanyaan Kiai Maemoen di atas. Ketika Gus Dur ke rumah saya di Rembang, seminggu sebelum wafat, beliau ada menceritakan mimpi saudaranya. Mimpi, yang menurut saudaranya itu, aneh dan ingin ditolaknya. Saudaranya itu bermimpi berada dalam jamaah salat. Termasuk yang ikut menjadi makmum adalah Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan yang menjadi imam … Gus Dur.
Barangkali untuk menghilangkan kekecewaan saudaranya yang tampak kurang senang Mbah Hasyim kok makmun Gus Dur meski hanya dalam mimpi, Gus Dur pun berkata menafsiri mimpinya itu: “Ya kalau soal akhlak dan agama, imamnya memang harus Hadhratussyeikh; tapi kalau soal politik, imamnya ya saya.”

Tapi tentu saja bukan karena ‘politik’nya, Gus Dur mendapat penghargaan dan penghormatan yang begitu fenomenal dari umat. Apalagi pada saat dunia politik cemar dan memuakkan seperti sekarang ini. Lalu, apakah karena ‘amaliyah pluraliyah’-nya? Tentu bukan juga. Sebab kalau karena ini, bagaimana kita menjelaskan tentang banyaknya kiai yang juga merasa sangat kehilangan dengan wafatnya Gus Dur dan dengan tulus mendoakannya, padahal mereka tidak paham atau tidak setuju pluralisme?

Ataukah fenomena itu hanya sekedar pengejawentahan dari rasa kesal masyarakat terhadap umumnya pemimpin yang masih hidup, yang tidak jujur (lain di mulut, lain di perbutan), dan tidak konsisten memikirkan dan berpihak kepada rakyat?

Menurut saya sendiri; Gus Dur dihargai dan dicintai beragam orang, karena Gus Dur menghargai keberagaman dan mencintai beragam orang. Gus Dur dihormati orang secara tulus, karena Gus Dur tulus menghormati orang. Gus Dur bersemayam di hati orang banyak, karena orang banyak selalu berada di hati Gus Dur. Gus Dur, setahu saya, sering dan banyak berbeda dengan orang, tapi tidak pernah benci kepada mereka yang berbeda, bahkan kepada yang membencinya sekalipin. Gus Dur tidak hanya mengenal persaudaraan kepartaian; persaudaraan ke-NU-an; persaudaraan keIslaman; persaudaraan keseimanan; persaudaraan keIndonesiaan; tapi lebih dari itu juga persaudaraan kemanusiaan. Dan itu amaliyah. Bukan sekedar ucapan. Wallahu alam.